MATAHARIKU TAK SEHANGAT DULU



Aku melepas kepergianmu dalam pagi yang gelap. Di bawah gerimis yang disertai  tiupan angin lembut.
Si kecil Syaira masih  nyenyak dalam dekapanku, dia tak terganggu oleh ciuman lembut yang kau daratkan di pipi dan ubun-ubunnya.

Sungguh aku tak ingin menangis melepas kepergianmu. Aku ingin jadi wanita dan istri yang tegar melepas suaminya berjuang. Rasanya baru kemarin kita saling berjanji untuk hidup bersama. Kemudian hadir Syaira yang melengkapi kebahagian kita. Hingga dua minggu yang lalu kau memutuskan untuk melanjutkan studi S2 mu ke Kairo. Dan menitipkanku dengan si kecil Syaira yang belum genap berumur enam bulan ke orang tuaku.

“Nda.. jangan bersedih ya.. percaya pada Allah.. kita pasti akan bertemu lagi.., jaga Syaira baik-baik ya..” aku hanya tertunduk mendengar tutur katamu “mungkin tidak sampai tiga tahun kakak akan segera pulang, dan kita akan bersama lagi.” lanjutmu padaku.

Suasana harupun tergambar jelas saat kau mendekapku erat. Mataku menitikkan bening, melepas kepergianmu. Ini adalah kali kedua kau pergi jauh dariku, setelah ibadah umrahmu dua bulan kemarin. Dan kali ini, untuk rentang waktu yang bagiku akan cukup terasa lama.

*******

Itu kisah saat aku melepas kepergian suamiku, dua tahun yang lalu. Hingga satu minggu kemarin. Di pagi yang masih buta. Saat aku tengah menikmati tilawah pagiku. Suamiku meneleponku. Rutinitas pagi yang selalu dia lakukan. Ini juga janjinya dulu untuk menikmati kebersamaan kami yang terbentang jarak. Tapi suaranya pagi itu terdengar berbeda, sedikit bergetar dan terasa berat. Menanyakan kabarku dan sikecil yang kini sudah hampir tiga tahun. Syaira sudah tumbuh menjadi anak yang menyenangkan, ceria dan cerdas. Dan dia belum pernah bertemu lagi dengan abahnya. Selama dua tahun ini hanya suara dan poto-poto abahnya yang menemani dan rajin aku perkenalkan.

“Nda.. “ suara suamiku bergetar memanggilku, “bagaimana pandangan dinda tentang ta’adud?”. Deg..! jantung ini rasanya berhenti berdetak.

‘Kenapa Kak? Kok tiba-tiba Kakak membicarakan hal ini?’ jawabku pelan.

“Jawab tanyaku dulu Nda.’ Pintanya kemudian.

“Kak.. Nda merasa Kakak sudah tahu jawaban Nda kan..?? bagiku, itu adalah perkara halal, yang barang siapa mampu melaksanakan dengan menepati segala syaratnya maka itu adalah sebuah kebaikan. Dan jika Kakak mampu untuk itu, dan  itu adalah kebaikan untukmu, maka itu adalah surgaku Kak...” Sembari mengigit bibir kuucap jawabku, dan entah mengapa aku juga menambahkan kalimat terakhir dalam jawabku. Seolah kepekaanku sebagai wanita menangkap maksud tanya suamiku.

Dari seberang sana terdengar suamiku menarik napas berat, dan dengan sedikit tergagap dia bercerita. “Ada seorang syaikh yang meminta Kakak untuk ikut menjaga adeknya. Dia seorang janda dengan satu orang anak. Suaminya meninggal akibat kerusuhan beberapa waktu lalu. Dia kini tinggal serumah dengan Syaikh yang selama ini banyak membantu studi Kakak disini. Sebenarnya Kakak tak ingin melukaimu, menduakan ataupun apa namanya. Bagiku, kau tetap permata terindahku Nda… Tapi disini, setiap Kakak berkunjung ke rumah Syaikh ini, melihat bayi yang kini tak berbapak lagi. Naluri Kakak ingin memeluk dan terus membelai kepala mungil itu. Kakak benar-benar ingin melindungi jiwa kecil itu. Ingin mengikuti jejak Rasul, memuliakan yatim Nda..” sejenak suamiku berhenti dan kemudian berlanjut pada kalimat yang kali ini benar-benar membuatku kaku.

 “Nda.. selain itu Kakak juga ingin berlindung dari buruknya tipu daya syaitan. Kakak tidak ingin terjadi fitnah, dengan seringnya Kakak bertemu dengan Syaikh itu untuk keperluan studi. Dan dengan itu pula Kakak sering bertemu, menggendong si kecil yang sudah tak berbapak itu. Dan setiap itu pula, Kakak teringat putri kecil kita Syaira. Engkau pasti mengerti kan Nda? Apa yang Kakak maksud?”  airmataku sudah mengalir sejak tadi membasahi kedua pipi dan mukenaku mengiringi setiap ucapan suamiku. Hatiku nyeri, ingin menjerit mencari keadilan, atas ucapan suamiku yang ingin melindungi anak yatim lain. Sedang putri kecilnya disinipun selama dua tahun tidak mendapat pelukannya..

“Kakak sudah istikharah untuk hal ini?”  tanyaku dengan suara lemah.

“Iya Nda.. sebenarnya ini sudah hampir satu bulan Kakak pertimbangkan.”

“Baik Kak.. Nda akan menetapkan hati dulu untuk menerima keputusan ini.” Akhirnya itu yang jadi penutup ucapanku.

“Terimaksih ya Nda.. kau sudah jadi wanita hebat di hidupku.” Balas suamiku kemudian.

Benarkah kesetiaanku selama ini akan berujung seperti ini?. Aku yang selalu memupuk rinduku, menyimpannya kukuh dalam bilik hati. Berharap suatu waktu ketika nanti suamiku kembali, aku akan mampu melabuhkannya di dadanya. Aku dan dia akan kembali bersama mengaitkan jemari, saling tersenyum hingga kupu-kupu mungkinpun akan iri melihat kesetiaanku berujung senyum rekah.


********

“Assalamualikum Kak..” kali ini aku yang menghubungi suamiku duluan.

“Waalaikum salam Nda.. bagaimana kabarmu dan Syaira?” sapanya seperti biasa, mengawali setiap obrolan kami lewat seluler.

“Kak.. Nda.. sudah memikirkan semua, dan menetapkan hati. Bila dengan menikahi wanita itu adalah kebaikan dan ibadah untuk Kakak.., menikahlah Kak.. Nda.. disini insyaallah ikhlas dengan ini semua.” Entah kenapa saat mengucapkan ini suaraku malah berubah sesenggukan. “Nda.. bagaimana? ‘ suara suamiku mencari jawaban, membuyarkan diamku.

“Kak.. silahkan, bila itu baik menurut kakak, disini Nda.. akan mencoba ikhlas Kak..” tibatiba aku bertindak menjadi wanita tegar sesuai ajaran agamaku. Dengan uraian airmata dan nelangsa yang kusembunyikan.

Aku tahu suamiku laki-laki yang bagaimana, baik agamanya, tipe suami setia, bertanggungjawab  dan penyayang. Tapi mungkin saat ini dia juga sedang menghadapi dilema. Dengan seorang janda yang diamanahkan padanya. Adek dari seorang syaikh yang selama ini telah banyak membantu studinya disana. Dan suamiku juga laki-laki normal tentunya..

Hingga kemudian dia mengirimiku sebuah gambar lewat selular. Seoarang wanita cantik, berhidung mancung dengan mata yang indah. Seoarang wanita keturunan mesir. Disertai seorang bayi mungil dalam gendongannya. Menatap gambar itu, hatiku ngilu, rasanya ada berpuluh-puluh, bahkan mungkin ribuan jarum menusuk-nusuk hati ini. Yang kemudian meninggalkan bekas lubang dan mengalirkan darah kepedihan.  

****


Hari-hari kemudian  menjadi sangat muram dan suram bagiku. Meski aku telah memberi ijin kepada suamiku untuk menikah lagi, namun hatiku sangatlah pedih menyimpan ini semua. Ibu yang kuberi tahu segalanya, hanya mampu menatapku, memberi kekuatan. Seskali membelai kepalaku, ketika memergokiku tengah dalam diam dalam kebisuanku. Mungkin ia ikut teriris-iris hatinya. Menyaksikan nasib pernikahan putri semata wayangnya. Yang menurutnya sejak menikah aku belum cukup menikmati indahnya berumah tangga. Bapak malah memberiku nasehat panjang tentang sebuah pernikahan. Dan berakhir pada sebuah kalimat ampuhnya.
“Dulu engkau yang sudah menetapkan hatimu padanya (suamiku), jika kemudian takdir menuntun jalan kalian seperti ini, ikhlaskanlah Naak..” Aku menumpahkan airmataku dalam pangkuan bapak. Sedang syaira belum mengerti ini semua. Dia adalah pelampiasan perihku. Memeluknya erat membuatku kembali mempunyai kekuatan untuk menatap hari dan merealkan keikhlasanku.


Dan menjelang subuh tadi, suamiku menelponku kembali, memberi kabar bahwa akad nikah akan dilangsungkan ba’da subuh waktu setempat. Aku hanya bisa mendengar itu semua dengan bisu. Haruskah aku memberi doa barakah untuk mereka?? Haruskah??. Yang kurasa hatiku kembali terkoyak.

Sejak selesai sholat subuh, aku seperti linglung. Duduk di depan jendela, tanpa rasa, tanpa air mata. Menatap ujung jalan berharap tiba-tiba suamiku datang dengan senyum teduhnya. Menggenggam jemariku erat, kemudian membopongku sembari berputar-putar disertai teriakan manjaku. Sama seperti yang dulu dia sering lakukan ketika pulang jamaah subuh.  Dan aku juga berharap kabar tentang semuanya hanyalah mimpi.

“ Astagfirullah.. Yaa Robb.. berikanlah hamba kekuatan..” bisikku lirih

Hingga matahari semakin tinggi, aku masih saja bisu dan beku. Syaira sudah sejak tadi digendong ibu, dan diajaknya bermain. Disini aku mengemas kepedihan. Terus mencoba menegakkan keikhlasanku. Sedang di belahan bumi lain disana. Suamiku tengah mengikat janji dengan wanita lain. Kembali mengucapkan perjanjian agungnya dengan Sang Khalik.  Untuk menjadikan wanita itu amanahnya. Menjaga, melindungi dan menafkahi lahir bathinnya. Pasti suamiku juga akan mengusap kepala wanita itu dan mengecupnya lembut. Mengikhlaskan dadanya untuk menjadi pelabuhan rindu dan tempat ternyaman bagi seorang wanita. Aku harus sadar, wanita itu bukan lagi cuman diriku. Ada wanita lain yang kini mengisi ruang hati suamiku. Aku diharuskan ikhlas dan rela berbagi.

Rindu dan kesetiaankuku disini kuyakin tak akan lagi merekah seindah yang kubayangkan . Dan matahariku juga tak akan lagi sehangat dulu.


Bandar Lampung, Iswa 150114


Komentar

Postingan Populer