Sepotong Episode
Pada pagi yang basah pertama kali aku mengenal sooknya.
Seorang laki-laki jangkung, dengan alis dan mata tegas. Sebenarnya aku tidak
benar-benar memperhatikannya pada saat awal perjumpaan, karena saat itu aku
sedang di buru untuk menyelesaikan tugas kuliah yang harus aku kumpulkan pada
jam pertama kuliyah. Aku menyapa sekenanya, dan menanyakan apakah aku sudah
boleh memakai komputer yang ada kios tempat si jangkung ini bekerja atau belum.
“Mas.. permisi.. boleh saya pakai komputernya sekarang?”
tanyaku sambil mengibas-ngibaskan sisa air hujan yang membasahi jilbabku.
“Silahkan mba.. pakai yang ini saja” jawabnya seraya menaruh
sapu yang sedang di ada di tangannya, dan kemudian menghidupkan salah satu
mesin komputer.
Tidak ada yang istmewa, selain aku yang kemudian selalu
setia datang ke kios komputer tersebut untuk mengetik menyelesaikan tugas-tugas
kuliyah. Sedikit bertegur sapa, minta bantuan ini dan itu, dan akhirnya kami
sering terlibat obrolan seru, tentang apapun,.
Dan kemudian, waktulah yang menjadikan kami seperti seikat ilalang dengan
putih bunganya.
“Lala.. apa cita-citamu setelah selesai kuliyah di sini”
tanya Mas Amar suatu petang ketika jari-jariku tengah sibuk mengetik skripsi.
“Apa ya Mas??” sedikit manggut-manggut aku memikirkan
jawaban. “Lala inginnya sih ngelanjutin S2 ke luar Mas.. tapi.. gimana ya Mas??
Sekarang aku kuliyah aja nggak ada biaya, di bantu dengan privat sana sini,
kiriman dari orang tua juga nggak pasti Mas.., untuk bayar semester kali ini
aja aku harusmen jual laptop kesayanganku, makanya aku jadi sering nongkrong di
sini.” jawabku sambil nyengir.
‘Yang penting kan ada niat dan kemauan Laa.. nanti saya
bantu cari informasi beasiswa buat studimu.” Janji Mas Amar enteng dan
menentramkan.
Kala itu aku tidak heran dengan janji Mas Amar, karena
memang kalau dilihat dari beberapa obrolan, dia ini orangnya perhatian, cerdas
dan baik hati. Berkali-kali sudah aku cobauntuk menanyakan tentang latar belakang pendidikan
dan pekerjaannya sekarang, tapi paling-paling hanya senyum renyah yang kudapat.
Hingga suatu kali ketika aku datang lagi ke kiosnya, dia
mengajakku membuka komputer yang ada di meja kerjanya, menunjukkan sebuah
informasi beasisiwa studi keluar negeri sperti yang ku inginkan. Dan menganjurkan
agar aku segera mengikuti prosedurnya. Dengan senyum sumringah aku mengucapkan
terimaksih pada Mas Amar.
‘Yeeeee.. alhamdulillah.. mimpiku akan segera terwujud”
pekikku di hadapannya.
Senyumnya mengembang melihat tingkahku yang seperti anak
kecil.
Hari-hari selanjutnya aku “Lala” dan Mas Amar semakin
menjadi seikat bunga ilalang yang terlihat indah dalam satu genggaman. Tapi kemudian,
tanpa kami sadari, ada badai toufan yang bertiup tiba-tiba. Menghamburkan putik-putik
bunga ilalang dan semuanya pun kembali menjadi sudah.
Komentar
Posting Komentar