Ilalang
Senang???
Pastiii.. ^_^ setelah sekian waktu aku harus sibuk dengan sebuah kesibukan mengurus kakak perempuan yang tengah saecar melahirkan anak keduanya (dan itu berarti keponakanku nambah lagi.. duniaku semakin ceria rasanya ^_^) kali ini aku dapat mengisi blog lagi. Ini hasil coretanku di sela-sela waktu yang jarang bisa kuajak kompromi.
Pastiii.. ^_^ setelah sekian waktu aku harus sibuk dengan sebuah kesibukan mengurus kakak perempuan yang tengah saecar melahirkan anak keduanya (dan itu berarti keponakanku nambah lagi.. duniaku semakin ceria rasanya ^_^) kali ini aku dapat mengisi blog lagi. Ini hasil coretanku di sela-sela waktu yang jarang bisa kuajak kompromi.
Ilalang
Seperti sebatang bunga ilalang pada hamparan ilalang mungkin
kini hidupku. Terayun-ayum mengikuti setiap irama angin yang bertiup. Dan
mungkinkah akupun harus luruh seperti bunga yang lain? Atau kemudian
serpihan-serpihan putihku akan terbang bersama tiupan angin?
“Sudah Nduk, Jangan di pikirkan perkataan Yu Mariem barusan,
masuk dan makanlah,” suara Simbok menyadarkanku yang masih saja terpekur di
teras samping rumah.
“Mbok, benarkah aku kini sudah setua yang orang-orang kira? Apakah
Simbok malu mempunyai anak perawan tua?” kujejaki mata renta milik Simbok.
“Sudahlah Nduk, orang-orang du sini bisanya hanya bergunjing
tentang kita. Simbok yang merawat dan membesarkanmu saja tidak terlalu pusing
dengan keadaanmu kini.”
“Tapi Mbok, benarkah ini semua karena aku terlalu sering
menolak para lelaki yang datang ingin memperistriku? Benarkah aku dibuat untuk
tidak laku dan jauh dari jodoh?”
Dunia rasanya suram, saat beberapa tetangga mulai
mempergunjinganku yang kini sudah menginjak angka tiga puluh lima tapi belum juga
berjodoh. Harapanku untuk memperoleh seorang suami yang baik dan sholeh kadang
terus dibayang-bayangi oleh gunjingan tetangga yang mengatakan aku tidaka akan
pernah laku, dan akan menjadi perawan tua seumur hidup.
Malam semakin larut, dari balik awan hitam tampak rembulan
malu-malu mengintip. Mungkin dia mengerti apa yang kurasakan, rasa kesepian
yang semakin waktu semakin menelikung. Antara deraan hidup dan doa-doa yang
belum juga terjawab.
“Ya Rabb, jagalah hamba untuk selalu tetap rukuk sujud dalam
ketaatan dan kepasrahan atas-Mu.
*****
“Mboook, “ suaraku tercekat memandang Simbok yang
terbungkuk-bungkuk meniup api di tungku perapian. Simbok semakin renta sedang
aku buah hati satu-satunya tak kunjung juga memberi kebahagiaan untuknya.
“Mbok, hari ini aku minta ijin mau ke tempat ustadzah
Hanifah, mungkin di sana aku bisa mendapat pencerahan dari nasihat beliau.”
“Hati-hati di jalan, Simbok hari ini mau ke ladang dengan Yu
Parmi mengambil kacang panjang,nanti mungkin sampai sore, simbok sholat dzuhur
di ladang saja,”
Walau sudah tua tapi Simbok masih saja memaksa mengolah
sendiri ladang peninggalan Bapak Meski di bantu oleh tetangga kami, tapi kadang
rasa iba menghampiri. Seharusnya Simbok harus sudah menikmati masa senja dengan
hanya beribadah dan dihiasi celoteh lucu dari cucu-cucunya.
“Iya Mbok, mungkin nanti sekalian saya mau minta ruqyah ke
ustad Masrur suaminya ustadzah Hanifah, siapa tahu memang jodohku dihalang-halangi
jin seperti yang orang gunjingkan.”
Mata Simbok yang renta dan sayu tengadah menatap buah
hatinya yang sudah cukup umur dan belum juga menikah.
“Berdoalah selalu pada Gusti Allah Nduk. Dialah yang memilki
semua ketentuan jalan hidup ini.”
Kupeluk tubuh ringkih Simbok, cairan bening meleleh tak sanggup kutahan.
****
Langit senja menghampar penuh pesona. Di ufuk barat lembayung merona meningkahi
jingga yang terlukis penuh kharisma. Bulatan raksasa matahari
bergulir perlahan-lahan seirama dengan deritan detik waktu di muka bumi.
Langkah kaki kurasakan begitu ringan dan teramat ringan. Aku ingin segera
berbagi kebahagiaan ini dengan Simbok. Benar untuk menjadi dan memilki
kebahagiaan yang kita inginkan kadang perlu waktu dan penantian yang tak
berbatas kesabaran.
“Assalamualaikum, Mbook! Simbok dimana?”
“Ada apa Nduk? Kok rasanya ada hal yang penting?” Simbok
keluar dari dalam bilik.
“Mbok, lihat ini,” kuangsurkan sebuah poto ke tangan Simbok.
‘Ini siapa Nduk?” tangan Simbok sedikit bergetar memgang
poto close up dengan setampak wajah bersih dan teduh tergambar di sana.
‘Ini salah satu dosenku dulu di kampus Mbok. Insyaallah dia
orang yang shalih.”
“Lha terus maksudnya?”
“Ternyata, tadi sewaktu saya silaturahim ke tempat ustdzah
Hanifah, beliau juga lagi menunggu-nunggu saya Mbok. Dosen saya ini minta beliau
untuk menanyakan apakah saya siap jadi istrinya atau tidak,” jawabku tak mampu
menyembunyikan binar bahagia.
“Alhamdulillah, terimakasih Gusti Allah karena Engkau telah
mengabulkan doa anakku,” seru Simbok penuh syukur.
*****
Sejak subuh aku dan Simbok sudah sibuk di dapur
mempersiapkan hidangan.
“Nduk, nanti Simbok harus ngomong apa?”
“Simbok ya bicara sebagai orang tuaku, orang tua Rahmi putri
Simbok. Nanti pak Hanan juga akan menemani kita Mbok.”
“Lha nanti siapa saja yang mau datang?”
“Menurut keterangan ustadzah Hanifah minggu lalu, nanti yang
akan datang, beliau, ustadz Masrur serta pak Ilham dosen saya itu Mbok. Hanya
mereka bertiga. Tapi bisa jadi ada lagi orang menyertai.”
Waktu terasa bergulir indah. Semburat jingga di ufuk timur
di tingkahi cericit suara burung menambah suasana tentram pagi ini.
“Nduk, ini Simbok pakai baju yang ini nggak apa-apa to?”
Simbok muncul sambil mengenakan gamis biru dan jilbab putih yang aku belikan
waktu lebaran kemarin.
“Iya Mbok, itu juga rapi. Simbok tidak usah terlalu sungkan,
lha ini yang datang orang-orang yang sudah Rahmi kenal dan tahu keadaan Rahmi.
Cuman mereka belum pernah sampai bersilaturahim kesini.”
“Iya Nduk, kamu juga tampak ayu hari ini,” puji Simbok
sambil menatapku yang mengenakan setelan gamis biru muda berpadu jilbab hitam.
“Mbook, mereka sudah datang,” ujarku pada simbok yang tengah
sibuk di dapur.
Simbok menyambut penuh suka cita orang-orang yang telah ikut
menyayangi putrinya. Mata Simbok tertegun menyaksikan ustadz Ilham seorang
dosen yang kini datang meminangku. Aku tahu apa yang Simbok risaukan, tapi
tidak lagi bagiku. Pasti nanti setelah Simbok bercakap-cakap dengan ustadz
Ilham Simbok akan berubah pikiran.
Akhirnya acara taaruf sederhana berakhir dengan obrolan
ringan penuh canda. Ustadz Masrur dan pak Hanan berkali-kali berkelakar menggoda ustadz Ilham
dan aku. Binar bahagia kini semakin terpancar dari wajah Simbok. Bahkan ketika
semua pamit pulang kemudian ustadz Ilham bersalaman penuh takzim dan menyium tangan
simbok, tampak buliran bening merembes membasahi kedua pipinya.
Langit siang beranjak sore dihiasai awan putih
yang berarak ke barat. Panorama kali ini mengajarkanku bahwa bunga ilalang tak selamnya harus luruh atau
habis tertiup angin, tapi ia dapat juga tetap putih menjadi penghias pada batang
ilalang yang menghijau.
Sementara itu di bawah pohon nangka di samping halaman,
tampak Yu mariem dan para tetangga berbisik-bisik menyaksikan para tamu yang
datang meminangku pamit pulang. Ustadz
Ilham yang kini telah resmi meminangku menjadi pusat perhatian mereka. Ustadz
Ilham berjalan terseok dengan sebelah kakinya yang mengecil karena menyandang
disabilitas sejak lahir. Dan ini juga pasti akan menjadi bahan gunjingan mereka
selanjutnya.
Bandar Lampung, April 2014
Komentar
Posting Komentar