Jalan Kerinduan
Langit kota Jeddah bersinar garang. Masih ada
waktu sekitar satu setengah jam sebelum memasuki kumandang adzan shalat jum’at.
Kulangkahkan kaki menyusuri sudut-sudut masjid yang terkenal mempesona ini. Pemandangan yang
sebelumnya belum pernah aku temui. Sebuah bangunan masjid yang artistik, berada
di atas genangan air pantai yang jernih dengan sebuah kubah putih raksasa di bagian
tengah dari kubah-kubah kecil yang lain dan menara putih tinggi menjulang indah
menjadi daya tariknya. Seluruh sisi masjid dikelilingi teras kecuali pada bagian luar
mimbar imam. Lengkungan-lengkungan setengah lingkaran pada setiap bagian
atasnya juga menjadi daya tarik lain dari masjid. Semua ini memudahkan para pengunjung
untuk menikmati pemandangan di sekitar masjid secara leluasa. Inilah masjid
yang lebih terkenal dengan sebutan masjid apung. Masjid yang terletak di jalur
perjalanan antara Mekkah dan Jeddah ini biasanya
menjadi tempat terakhir yang dikunjungi
dalam tour perjalanan umroh jamaah asal Indonesia.
Langkahku terhenti pada sisi kanan teras
masjid. Dari sini mata termanjakan dengan panorama yang cukup menarik. Tampak
beberapa jamaah asal Indonesia tengah
asyik mengerumuni pedagang makanan kecil asal Indonesia. Uniknya di sekitar masjid
ini bisa mengadakan transaksi jual beli menggunakan rupiah, itu bila
pedagangnya berasal dari Indonesia. Deretan mobil yang terparkir di sepanjang
sisi jalan memantulkan cahaya yang menyilaukan dari sinar terik matahari.
Sedang hamparan laut luas terlukis sempurna tanpa batas, cahaya matahari bebas menerobos
masuk kekedalamannya. Kusandarkan tubuh pada sisi-sisi teras masjid yang hanya
sepinggang dari tinggi badan. Tiba-tiba mataku menangkap tiga bayangan wajah perempuan
istimewa dalam kehidupanku yang tengah tersenyum manis, dan terputarlah kembali
slide-slide perjalanan yang akhhirnya mampu mengantarkanku menunaikan kerinduan
pada tanah suci .
******
“Assalamualaikum, kaifa halk ya Abdullah?”
Sebuah salam terucap bersamaan dengn tepukan tangan mendarat di punggungku yang
tengah asyik menghadap ke layar monitor.
“Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh, aiwaaa?
Madza turid ya ustad?” segera kuraih tangan ustad Aryasin kepala yayasan
tempatku bekerja.
“Segera persiapkan paspor, antum
mendapatkan hadiah ibadah umroh,” senyummnya mengembang mengiringi apa yang
diucapkannya.
“Allahu akbaaaar! Benarkah ustad?”
“Benar, segera persiapkanlah segala
keperluannya. Ada salah satu jama’ah ta’lim kita yang dulu pernah kita bantu
saat beliau mendapat kesulitan dan sekarang ingin memberi ucapan terimakasih
dengan memberangkatkan salah satu ustad di sini untuk pergi umroh. Berhubung
semua yang di sini telah umroh, dan hanya antum yang belum pernah maka
bersiaplah. Ini panggilan dari Alloh untukmu.”
“Allahu akbar! Terimakasih ya Rabb,” segera kupeluk ustad Aryasin sebagai tanda kebahagiaan.
“Jangan lama-lama ya, segera urus paspor dan
lain-lainnya. Besok kalau sudah siap semuanya kita silaturahim sekalian
menyerahkan berkasnya,” kemudian ustad Aryasin berlalu tanpa lupa mengucapkan
salam.
Rasanya ini seperti anugerah yang diberikan
Allah secara tiba-tiba dan hampir membuatku berhenti bernafas karena teramat
bahagia. Aku yang hanya seorang pemuda dari kampung kecil, mencoba hidup dan
berdakwah di kota sebagai pegawai
administrai pada sebuah lembaga keagamaan. Memiliki keluarga kecil yang hanya
tinggal di sebuah rumah petak di belakang sebuah mushala sebagai imbalan karena
mau mengajari anak-anak sekitar membaca al-qur’an dan kiniiii??? Kerinduan
fitrah sebagai seorang muslim untuk menjejakkan kaki di tanah suci akan segera
terwujud. Kerinduan yang tadinya hanya mampu
aku semai di dalam hati, kutuangkan dalam baris-baris munajat
permohonanku pada-Nya, kini akan segera berbunga dan terurai.
“Terimaksih ya Rabb. Subhanallahi
walhamdulillahi walaailaha illallah allahu akbar.”
Kuraih ponsel untuk berbagi kebahagiaan dengan
orang-orang tercinta yang kumiliki.
“Assalamualikum, Dik, Mamas mendapat hadiah
untuk pergi umroh,” tak mampu kusembunyikan gemuruh bahagia pada istriku
tercinta.
“Alhamdulillah, benarkah Mas?”
“Iya, Mamas akan segera menjejakkan kaki di
tanah suci, Mamas akan mengunjungi makam rasul serta akan memanjatkan doa-doa
di raudhah dan mengunjungi tempat-tempat
mulia lainnya.”
“Allahu akbar! Mamas harus segera
memberi tahu Emak, pasti beliau akan sangat
bahagia,” istriku mengingatkan untuk berbagi kebahagian dengan emak,
wanita mulia yang telah melimpahkan kasih dan memenuhi munajatnya untuk
kebahagianku.
Dari seberang sana kemudian terdengar suara
suka cita yang tidak kalah bergemuruh dengan apa yang tengah kurasakan.
“Alhamdulillah, matur suwun duh Gusti Allah,
karena Engkau mengijinkan anak laki-lakiku untuk mengunjungi rumah-MU.
Bersyukurlah kamu Le keinginanmu ingin naik pesawat terbang juga akan segera terwujud.”
“Aaah, kenapa Emak masih selalu ingat tentang
keinginanku itu?” tanyaku bersemu malu.
“Itu keinginanmu sejak kecil Lee, dulu setiap
kali kita tengah di ladang dan ada pesawat terbang yang melintas di udara, maka
kamu akan berteriak-teriak ingin ikut naik,” suara emak terdengar sengau
mengurai kenanganku dengannya, “kemudian setelah kamu masuk pesantren dan
mendalami ilmu agama, keinginanmu jadi bertambah Le, kamu ingin kita dapat naik
pesawat dan mengunjungi tanah suci bersama-sama. Meski kamu tahu kita bukanlah
orang yang berlimpah harta, tapi katamu semua yang di dunia ini dipenuhi segala
kemungkinan, juga tentang keinginanmu pergi ke tanah suci. Lihatlah Le, semua
kini dijawab oleh gusti Allah, kamu mendapat panggilan atas kuasa-Nya.”
“Iya Mak, mohon doanya yaa,” hanya itu yang mampu
keluar dari rongga suara. Tidak ada sepatah kata lain yang mampu kuucapkan lagi,
rasanya semua kebahagian atas kenikmatan di dunia kini telah aku miliki.
Hari-hari selanjutnya adalah seperti sebuah penantian
jawaban atas pinangan yang telah terucap.
Segala berkas yang dibutuhkan telah diserahkan dan kini berada di pihak yang
akan memberangkatkan umroh. Menurut keterangan yang diberikan, jika semua
urusan lancar maka akan segera berangkat sebelum memasuki bulan Rajab.
Penantian berjalan dari detik-detik yang terus beranjak berganti menjadi hari,
minggu dan bulan. Rajab telah berganti menjadi Sya’ban, dan Ramadhan kemudian berlalu
berganti dengan Syawal. Sebentar lagi akan memasuki musim haji, rasanya
tidaklah mungkin dari pihak travel akan memberangkatkan jama’ah umroh bersamaan
dengan musim haji tiba.
“Mungkin nanti setelah musim haji lewat, Mamas
baru akan mendapat panggilan dan keterangan untuk selanjutnya. Kita bersabar
saja Mas,” istriku mencoba menenangkanku yang beberapa waktu terakhir terlihat
murung.
“Mungkinkah karena Mamas masih banyak dosa dan
belum pantas menjejakkan kaki di tanah suci ya Dik?”
“Kurasa bukan begitu Mas, mungkin Allah tengah
menguji seberaba besar kesabaran dan kesungguhn yang kita miliki. Atau, bisa jadi
juga Allah tengah menguji seberapa besar kestiqohan kita terhadap ketentuan-Nya.
Lebih baik kita lebih mendekat lagi kepada-nya.”
Kupandangi wajah oval dengan mata cekung milik
istriku, selanjutnya aku hanya mampu mendaratkan kecupan lembut pada keningnya.
Kerinduan dan keinginan untuk dapat segera bersua dengan tanah suci semakin terasa
menghimpit
Sejak saat itu kemudian aku dan istri lebih menghidupkan
malam dengan menggencarkan munajat kepada Allah memohon kemudahan atas segala
urusan ibadah umroh yang sangat ingin aku jalani. Istriku juga tidak lupa
menyertakan sebaris doa memohon segala kemudahan dan jawaban dalam doa
pengantar tidur kami. Putri kecil kami, yang baru berusia satu tahun
setengahpun akhirnya terbiasa ikut melafalkan baris doa itu. Suaranya yang terputus-putus
terdengar mengharukan.
“Awwoh.. mmdaah abii umoooh (Ya Allah
mudahkanlah Abi untuk segera pergi umroh)” Bahkan kadan putri kecilku
melafalkannya dengan suara yang dikeraskan sambil kedua tangannya tengadah
Waktu terus bergerak dan berlalu, satu tahun
sudah dari mimpi dan kerinduan yang baru tertuang dalam pinangan berkas tanpa jawaban. Kerinduan
untuk dapat segera mencecap nikmatnya menjalani
ibadah di tanah suci semakin membuncah, tapi, lagi-lagi aku harus
menunggu dan bersabar.
Dengan iringan harapan dan doa, kembali ustad
Aryasin mengajakku bersilaturahim ke tempat jama’ah ta’lim yang dulu telah kami
amanahi berkas-berkas untuk keperluan umroh. Kami berharap mendapat kabar
sebuah kepastian. Tapi semua masih sama dengan jawaban mungkin, mungkin dan
mungkin.
“Ya
Rabb, mungkinkah aku belum layak untuk semua ini? Mungkinkah ada tumpukan dosa
yang menghalangi langkahku? Ampuni hamba-Mu ya Rabb.”
**********
Tiga bulan kemudian berlalu sudah dari pembicaraan
tempo waktu. Melihatku terkatung-katung dalam penantian tanpa kepastian,
seorang dosen yang bekerja di lembaga tempatku bekerja kemudian mengajukan
ajakan untuk menyertakanku dalam perjalanan umroh yang akan beliau lakukan.
Hanya paspor yang harus segera aku serahkan kepada beliau. Maka dengan sepenuh
keyakinan kali ini kuminta ustad Aryasin menghubungi asisten jamaah yang
mengurus kepergian umrohku untuk meminta kembali berkas yang sudah pernah kami
serahkan.
Seperti sambaran halilintar pada terik siang.
Suara di seberang sana yang aku turut mendengarkan langsung merubuhkanku untuk
tunduk dan larut dalam sujud penuh syukur. Kening ini langsung bertemu dengan
bumi tempaku berpijak.
“Astagfirullah, jadi Bapak belum dikasih
kabar dari pihak travel kalau keberangkatan rombongan jamaah umroh Bapak adalah
dua hari ke depan? Silahkan secepatnya datang ke alamat kantor travel untuk
mengambil segala keperluannya,” bapak di seberang saluran telepon kemudian
menyebutkan sebuah alamat yang harus aku datangi. Selanjutnya bagiku tidak
terlalu penting apa yang kemudian jadi pembicaraan ustad Aryasin dan suara di seberang
sana.
Siang itu, penuh kebahagiaan yang bertalu-talu
seperti suara bedug yang ditabuh kala
idul fitri tiba, kulaju sepeda motor menuju kantor travel. Suara emak dan
istriku yang baru saja kutelepon kembali terngiang, pekik syukur dari keduanya
melengkapi kebahagianku siang ini. Doa-doa mereka kini kembali terjawab, juga
doa dari bibir mungil dan suci milik putri kecilku.
“Terimakasih Mak, terimakasih juga untuk engkau
istri dan anakku tercinta,” bisikku dengan senyum yang terus mengembang dalam
laju motor yang seolah terbang membelah langit.
Semua
yang ada di hidupku hingga dua
hari kedepan terasa ringan dan teramat ringan. Seringan kapas mengiringi keriangan hati yang akan menghadiri perjamuan agung
dalam undangan-Nya.
******
Allahu akbar Allaaaahu akbar
Allaaaahu akbar Allaaahu akbar…
Kumandang adzan shalat jum’at telah terdengar
dan membawaku kembali menyadari betapa agung
semua karunia yang telah Allah berikan.Bahkan saat terburuk aku lupa
menyertakan nomor telepon dalam berkas yang dapat di hubungi oleh pihak travel
perjalanan umroh, Allah masih tetap menunjukkan
kuasa-Nya dengan memberiku kejutan istimewa pada hari kedua sebelum jadwal
keberangkatan. Kini, telah kucecap manisnya menunaikan sebuah kerinduan atas
perjamuan mulia dalam taman-taman cinta-Nya. Dalam makam rasul tempat termulia
untuk melafalkan shalawat. Dalam raudhah di masjid Nabawi tempat mustajabah atas
segala pinta. Dalam masjidil haram tempat dilipatgandakan segala pahala ibadah.
Dalam aliran suci air zam-zam penawar segala
penyakit dan dahaga. Dalam menapak tilas ke bukit rahmah, tempat
bertemunya cinta diantara dua manusia Adam dan Hawa serta tempat-tempat
bersejarah dan mulia lainnya.
Beberapa jam lagi aku akan segera terbang meninggalkan
tanah suci dan akan berkumpul kembali dengan orang-orang tercinta yang aku
miliki di tanah air. Nanti, bersama mereka akan kembali kurajut sajadah-sajadah
rindu yang semoga akan dapat kubentangkan lagi di sini, dalam perjamuan agung yang
kuharap akan kembali terulang.
Bandar Lampung, Mei 2014
Catatan:
Kaifaa halk ya Abdullah : Bagaimana kabarmu wahai hamba Allah
Aiwaaa : ungkapan
rasa terkejut
Madza turid ya ustad :
Apa yang engkau inginkan wahai ustad
Antum : Kamu
Subhanallah, luar biasa ceritanya bunda Asih Wardhani
BalasHapusalhamdulillah bund.. tapi maaf saya Islah wardani, bukan asih wardani.. beda orang bund.. :)
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusAstagfirullah, afwan Bunda Islah Wardani, karena ikut juga di event Bunda Asih Wardani, mirip namanya, sekali lagi maafin ya Bun
BalasHapusiya mba.. ngga apa2, memng banyak yg ketuker2.. ^^
Hapus