Pelangi Pertama




 Langit pagi cerah dengan mentari yang bersinar sempurna memeluk lembut bening embun di pucuk-pucuk pohon dan membawanya serta dalam kehangatan.

“Waaaa.. Najwa..” sebuah suara menghentikan langkahku di ambang gerbang sekolah.

“Ini untukmu, pesannya kamu yang disuruh menggunakannya.” tangan Arif menyerahkan sebuah kamera seraya menunjuk seseorang yang tengah tersenyum padaku dari bawah pohon mahoni di halaman sekolah.

Aku menerima kamera itu lalu membalas senyum seseorang yang ada di bawah pohon mahoni. “Raaa.. kenapa kau tidak pernah mau berbicara dan hanya terus memberiku segala kejutan-kejutan kecil darimu?” hatiku berbisik.

“Cieee ada yang bawa kamera nih? Asiik..!” suara teman-teman datang menggoda.

“Dari siapa Wa? Kamu tidak punya kamera kan?” suara Karin mencari penjelasan.

“Ini dari ketua kelas, tuuh tadi orangnya mana yaa?” mataku mencari sosok di bawah pohon mahoni, ternyata dia sudah tidak ada.

“Yuuuk kita masuk, acara sudah mau dimulai” seruku pada teman-teman yang masih saja menikmati kebersamaan hari terakhir di sekolah.

Hari ini adalah hari pelepasan kami siswa siswi kelas tiga MAN Al-Huda. Rasa haru dan sedih karena harus berpisah dengan para guru dan teman-teman bercampur dengan bahagia karena akhirnya kami lulus dari sekolah menengah ini.


Acara berlangsung penuh hikmat, sambutan pesan dari dewan guru dan ucapan dari wakil siswa terasa begitu haru. Dari sudut mataku, pada deretan kursi siswa aku menangkap mata yang tidak lepas memandangku. “Raa.. sebenarnya apa yang ada di benakmu? Tidak cukupkah waktu tiga tahun untukmu untuk terus memandangku dari jauh? Tidak cukupkah mata kita setiap waktu saling berbicara tentang isi hati kita? Atauuu??”

Lamunanku buyar, tiba saatnya aku harus maju ke atas panggung membawakan puisi tanda terimakasih kepada dewan guru.  Dari atas panggung aku masih menangkap matamu tanpa lepas memandangku. Tatapan mata yang selama tiga tahun ini telah lekat dalam retina dan ingatanku. Mata sayu yang tidak pernah berhenti berkata mewakili bibir dan hati dari sosok yang kuketahui tidak pernah menyakitiku. Aku tahu itu, kau selalu beda dengan semua orang di sekolah ini. Kau tetap beku dengan gunung es yang kau miliki, kau tidak pernah mengakui langsung, bahwa hatimu menyematkanku pada sudut terindahmu. Meski semua orang tahu, bahwa diantara kita ada pelangi cinta yang mewarna.

Acara pelepasan siswa berakhir dengan saling berjabat tangan. Tidak kutemukan wajahmu dalam barisan teman-teman yang lain. Ketika aku tengah sibuk penuh keriuhan mengambil gambar bersama teman-teman, ada tangan yang menarikku menepi dari keramaian. Aku seolah tidak percaya, benarkah kali ini Raka yang sedang memegang lengan tanganku?. Penuh degup dan tanya kuikuti langkahnya.

“Wa.., maafkan aku, mungkin aku selama ini telah membuatmu tersiksa.”

Aku hanya sanggup menunduk menyimpan debar yang berbaur dengan suara riuh teman-teman. Raa.. dulu di sini di depan ruang kelas satu, tiga tahun lalu kau pernah memberiku kuntum melati dari rumpun melati yang kini ada di samping kita. Tanpa kata atau apa, kau hanya memetiknya, menyerahkan padaku dan kemudian berlalu.

“Waa.. masih ingatkan engkau dengan permintaanku tempo waktu?”

Aku hanya sanggup mengangguk mengingat kejadian saat aku dan Raka dikurung di ruang kelas oleh teman-teman. Saat itu Raka malah membiarkanku beku di sudut  kelas. Saat itu aku hanya bingung dan malu dengan perlakuan teman-teman. Dengan nyaman dan tanpa dosa Raka menangkupkan wajah di bangku dan tertidur. Kemudian esoknya saat jam  istirahat, dia menyuruhku duduk di sampingnya di teras kelas. Dia menyuruhku memandang langit biru dan hanya berkata “Kita tidak usah pernah pacaran ya Waa? Kelak suatu saat bila kita jodoh, pasti takdir akan mempertemukan kita.”

‘Waa..,” kembali terdengar suara Raka menyebut namaku, “Sebenarnya kau adalah pelangi pertama di hatiku, selama ini aku tidak pernah mampu mengatakannya, karena aku takut itu semua akan merusak warna indahmu. Tetaplah menjadi pelangi untukku Waa, jika suatu waktu Allah mempertemukan kita kembali untuk bersama, berarti kita adalah takdir. Nanti sore aku akan kembali ke kampungku. Meninggalkan kota kecil ini dan segalanya tentangmu.” Tiba-tiba tenggorakanku tercekat  mataku merebak dan basah mendengar semua yang di katakan Raka. Tidak taukah engkau Raa? Bahwa segala tentangmu selama ini juga menghuni dan tersimpan indah di hatiku?

“Sudah jangan bersedih,” suara Raka memintaku menghentikan isakan.  “Itu kamera punya sekolah, nanti setelah kau mencuci klise dan potonya, kau bisa kembalikan lagi ke OSIS yang sekarang ya? Oh iya, aku punya ruang istimewa untukmu, kau bisa menuliskan apa yang kau inginkan.” Kali ini suara Raka renyah menghibur seraya membuka jas almamater yang dipakainya dan mempersilahkanku menulis apa saja yang kuinginkan pada bagian dalam jas. Kuambil spidol yang Raka sodorkan, dan hanya satu coretan memanjang yang kugoreskan di sana.

“Sudah itu saja Raa” suaraku masih terdengar tercekat. Raka menatapku lekat, kemudian hanya mata kami yang kembali berbicara. Langit siang menghambar biru cerah dengan gumpalan-gumpalan awan putih.

“Haaah.?! Sudahlah jangan bersedih. Kita poto berdua ya?” pintanya kembali menghibur.

Raka.. bagaimana kau mampu menghiburku, sedang matamu menyiratkan kesedihan yang sama. Kedua mata kita sudah terbiasa saling berbicara dan akupun mampu menafsirkan setiap bahasa hati kita yang hadir di sana.

Raka menarik seorang teman yang melintas dan memintanya mengambil gambar kami berdua. Aku dan Raka duduk bersisian begitu dekat, ini untuk pertama kalinya pundak kami saling bertemu. Sebelumnya tidak pernah Raka berani duduk sedekat ini denganku. Bahkan berjabat tanganpun kami belum pernah melakukannya.

“Waa, aku pamit yaa? Maafkan semua kesalahanku selama ini. Kau pelangi pertama dan terindahku.” Mataku kembali basah mendengar ucapan perpisahan dari Raka.

Raka berlahan menjauh, tubuhnya yang tidak terlalu tinggi dariku kembali memalingkan wajah innocentnya, mengulas sebuah senyuman yang sudah sangat akrab untukku. Raka kembali bergabung dengan teman-teman yang lain. Sedang aku lebih memilih duduk menikmati keriuhan yang ada. Rumpun melati terangguk-angguk di terpa angin siang, dialah yang selalu menjadi saksi hening antara aku dan Raka.

******

Hari menjelang petang ketika aku terbangun dari tidur siang di sofa ruang depan. Rupanya hujan yang turun dengan deras telah membuatku pulas dalam kesedihan. Dengan tergesa aku naik ke balkon lantai dua rumahku. Memandang asrama sekolah di seberang jalan berharap menemukan sosok Raka di sana. Menikmati senyumnya dari jauh seperti yang sering aku lakukan setiap senja, menikmati anak-anak asrama bermain basket di halaman asrama sekolah. Tapi nihil, mataku kini nanar memandang ujung jalan berharap masih menemukan bayangan Raka yang sore ini akan kembali ke kampungnya di ujung Sumatera. Tapi, kembali tidak kutemukan sosok Raka. Mungkin aku terlambat melepas kepergiannya.

‘Raaaaaaaaaaaaa” hatiku menjerit memangil nama Raka. Di langi,t pelangi yang baru kusadari kehadirannya menghiasi siluet senja yang dipenuhi jingga. Mengingatkanku pada ucapan Raka tadi siang bahwa aku adalah pelangi pertamanya.

“Raa, kau juga pelangi pertama untukkuku,” bisikku sembari memandang larikan mejikuhibiniu yang terlukis indah menemani kesedihan.

Hari itu kemudian menjadi hari terakhir aku melihat wajah Raka. Selanjutnya aku tidak pernah menemukan Raka, pun juga tentang kabar darinya. Semua seolah telah pergi bersama hilangnya Raka dari hari-hariku .Hingga bertahun-tahun kemudian. Tepat sehari setelah aku mengucapkan ikrar untuk hidup bersama dengan seorang laki-laki yang memilih dan menjadikanku bidadarinya. Aku kedatangan seorang tamu. Berdiri di hadapanku sosok Raka dengan mata sayunya. Wajahnya tidak lagi seinnocent dulu, tapi senyum itu masih sama seperti yang terekam dalam memori kenangan. Gugup kusambut kedatangannya. Mata kami kembali bertemu dan berbicara. Pada bola mata Raka tersirat berjuta kerinduan dan  tanya tentang seseorang yang kini berada di sampingku.

“Raa,  ini suamiku. Namanya Mas Ilham. Kami menikah hari kemarin.” Jelasku mengusir kebekuan. Sesal yang kemudian kutangkap dari kedua mata Raka.

Maafkan aku Raaa.. tidak menunggumu, aku kehilangan keyakinanku atasmu. Aku yang tidak memegang dan memenuhi permintaanmu. Mataku beradu menatap sayu yang menyimpan luka, kemudian isyaratku berkata, memintanya  mengenang kembali percakapannya denganku tujuh tahun silam.

Bandar Lampung, Juni 2014



Komentar

Postingan Populer