Secuplik Tentang Hati Istri
Menyaksikan dan membaca lagi tayangan dan buku Catatan Hati Seorang Istri, membuatku tergoda untuk menuliskan secuplik catatan yang aku ketahui tentang isi hati beberapa istri yang sempat mampir dan aku dengar.
Menurut kebanyakan orang, tahun-tahun pertama dalam
pernikahan adalah tahun yang rentan dengan pertengkaran dan perselisihan. Baik
dari hal yang besar ataupu hal-hal sepele yang tidak seharusnyadiperselisihkan.
Ini disebabkan karena pada intinya masing-masing dari pasangan tengah saling
menyesuaiakn. Belum memahami karakter masing-masing meski mungkin ada yang
telah “pacaran’ selama sekian tahun. Tapi, gerbang pernikahan adalah awal dimana
sepasang suami istri akan menyamakan langkah dan keinginan. Akan saling
berusaha menjadi air dikala pasangan tengah berapi. Akan saling berusaha
mengalah meski dalam pihak yang benar. Akan saling memberi kekuatan ketika
pasangan tengah terpuruk dalam kesusahan. Itulah pernikahan.
Dari beberapa curhat sesama teman yang telah menikah dan
tahun pernikahannya lebih muda dibanding denganku, ada saja keluhan mereka
seputar rumah tangga. Yang dapat aku lakukan hanya terus berusaha mengukuhkan
mereka. Betapa pentingnya saling pengertian. Betapa pentingnya seorang istri
harus berada dalam posisi mengalah. Betapa pentingnya sering-sering mengingat
kembali tujuan awal dari sebuah pernikahan. Betapa penting seorang istri
terlebih dahulu mengulurkan tangan untuk meminta sebuah kata maaf. Dan betapa
pentingnya seorang istri untuk tidak mengumbar aib dan permasalahan keluarga
keluar dari pintu bilik kamar mereka.
Mungkin aku memang bukan seorang istri dan teman hidup yang
baik untuk pasanganku. Tapi, setidaknya aku akan terus berusaha menjadi baik
dari waktu ke waktu.
Tanpa pernah kuminta, suatu ketika aku berkumpul dengan beberapa
teman semasa kuliyah. Saling melepas rindu dan mencoba menikmati kembali
kebersaaman meski celoteh dan tangis-tangis buah hati kecil kami ikut membuat
riweh. Dari beberapa cerita dan curhat yang mengalir, ada kesamaan dari ketiga
temanku dalam satu topik cerita. Yaitu, tentang betapa beratnya menjalani
kehidupan sebagai saudara ipar untuk saudara perempuan dari pasangan hidup
kami.
Ini benar, menikah bukan berarti hanya bertemu dan menjalani
kehidupan dengan pasanagn hidup kita. Tapi, juga dengan mertua dan tentuanya saudara
ipar. Diperlukan kesabaran dan kearifan dalam menjalani masa-masa penyesuaian
diri dengan pihak yang baru kita kenal. Belum lagi bila pasangan kita adalah
seorang anak laki-laki yang memang harus ikut menaggung kebutuhan dan hidup
keluarga orang tuanya “mertua kita”, bisa dipastikan kita akan menemukan banyak
hal yang kadang membuat seorang istri harus sering-sering menelan kegetiran.
Mulai dari ikut memberi nafkah bulanan untuk orang tua, adik-adik ipar dan
belum lagi ketika salah satu adik ipar yang masih sekolah/kuliyah harus tinggal
dan hidup seatap dengan kita. Apalagi kondisi hidup dan rumah tangga yang masih
merangkak menapaki likunya pernikahan. Misal dengan penghasilan pasangan yang
pas-pasan, kondisi tempat tingggal yang masih mengontrak, belum lagi bila diantara
salah satu pasangan juga tengah menyelesaikan pendidikannya.
Mengahadapi remaja dengan kondisi kita yang juga belum
matang itu tidak mudah. Misal dengan saudara ipar yang belum mau mengerti
kondisi ekonomi yang tengah kita hadapi. Misal dengan emosi mereka yang belum
matang dan masih labil. Apalgi bila saudar ipar adalah seseorang yang berada
pada garis pergaulan bebas. Otomatis kehidupan seorang istri yang tadinya
adalah seorang perempuan lajang yang membayangkan manisnya dunia pernikahan
akan menelan kekecawaan. Bayangan indah tentang pernikahan tidak ditemuinya.
Bahkan bisa dibilang jauh dari harap.
Tapi, haruskah seorang istri kemudian mengeluh, dan
berandai-andai untuk berbalik arah?? TIDAK!!! Inilah perjuangan awal seorang
istri dalam pernikahan. Bagaimana seorang istri dapat mempraktikan tentang
semua teori istri shalihah yang telah ia pelajari. Bagaiman seorang istri dapat
membuktikan pada suami bahwa dengan keberadaannya akan menambah kebaikan dan
kekuatan untuk suami. Dan bagaiman kita dapat tetap ber”hitmah” mengabdi dalam
kondisi apapun yang seorang istri temui.
InsyaAllah sebuah gerbang pernikahan yang baru mulai
ditapaki akan berjalan indah meski pelan dan merangkak. Pegang erat sifat
kesabaran, pengertian dan qonaah atas apa yang kita temui. Kebahagiaan
pernikahan itu bukan dari seberapa banyak materi yang kita dapati, tapi
seberapa besar perhatian dan dukungan dari setiap pasangan hidup yang mereka beri.
Tetaplah melangkah bersisian. Saling bergandengan dan
mengaitkan jemari. Saling memandang penuh cinta dan ketulusan hati. Saling memberi dukungan dan mengerti.
Saling percaya dan saling menyelaraskan mimpi.
Terbang dan mengepaklah menjemput ridha Allah. Karena kalian
adalah sepasang sayap suci yang meretas jalan untuk menjadi pasangan yang abadi.
Bandar Lampung, 22 Juni 2014
Komentar
Posting Komentar