Antara Keharusan dan Gaya Hidup

Oleh : Islah Wardani
Dalam kurun beberapa tahun saya pernah hidup menjadi pengasuh balita. Saya ikut dengan seorang kakak yang bekerja sebagai guru (PNS) dan bekerja full seharian. Sedangkan suaminya adalah seorang dosen yang juga setiap pagi harus berangkat bekerja. Mereka memiliki dua anak yang masih kecil. Satu usia lima tahun, baru sekolah di TK dan yang satu balita berumur dua tahun. Setiap pagi kami harus mengawali hari dengan keriwehan yang luar biasa. Sang kakak yang susah dibangunkan, orang tua yang terburu-buru berangkat bekerja dan si kecil yang selalu meraung-raung saat ditinggal oleh ibunya.
Adakah yang salah dengan suasana pagi hari seperti ini???
Sebenarnya tidak. Hanya saja, mungkin kita akan terenyuh ketika harus melihat dan mendapati seorang anak menangis di pagi hari karena kehilangan ibunya. Mungkin benar, bahwa ibunya harus bekerja untuk membantu perekonomian keluarga yang tidak mampu ditopang dengan hanya pengandalkan penghasilan suami. Pastinya dalam keadaan ini seorang istri (ibu) juga akan mengawali harinya dengan pagi yang hebat. Menyiapkan segala serba-serbi pagi dengan lebih awal. Mulai dari sarapan, bersih-bersih dan menyiapkan pakaian kerja dirinya, suami dan anak-anak mereka. Hingga kemudian harus menutup pagi dengan pergi bekerja membawa serta rasa trenyuh dan sedih karena harus meninggalakan anaknya dalam dekapan pengasuh. Ini dilema ibu pekerja yang sering sekali kita temui
Tapi, bagaimana dengan seorang wanita yang memang menjadikan bekerja sebagai gaya hidup. Khawatir tingkat ekonomi mereka tidak sejajar dengan sesama teman, khawatir pergaulan mereka tidak lagi berkelas, atau khawatir ijasah pendidikan tinggi mereka tidak mendapat legaliatas karena tidak digunakan bekerja. Padahal dari segi kehidupan ekonomi jelas penghasilan seorang suami dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Mungkinkah pada pagi hari mereka juga mempunyai porsi trenyuh dan sedih terhadap keadaan anak yang ditinggalkan dengan sama atau mungkin lebih besar dari porsi seorang wanita yang bekerja karena untuk membantu suami??
Apapun itu, memilih bekerja bagi seorang istri, khususnya yang telah menjadi seorang ibu pasti akan menghadirkan dilema yang kerap timbul tenggelam dalam kesehariannya. Misalnya pada saat yang bersamaan seorang ibu pekerja harus menghadapi pilihan yang sulit antara menjalani kewajiban bekerja dan meninggalkan anaknya yang tengah terbaring sakit. Atau juga saat yang bersamaan harus menghadiri rapat di tempat bekerja dan menghadiri pertemuan wali murid di sekolah anak. Bukankah ini hal yang tidak mudah?
Lumrahnya hidup, pasangan adalah patner yang telah ditetapkan oleh Allah subhanahu wata’ala sebagai sepasang manusia yang saling melengkapi. Maka, dalam kehidupan berumah tangga mestinya seorang suami dan istri dapat hidup saling berdampingan dan mengerti. Apabila jalan kehidupan yang dipilih adalah sesuai firman Allah subhanahu wata’ala dalam surat An-nisa ayat:34 yaitu yang berbunyi “Laki-laki (suami) adalah pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya, maka perempuan-perempuan yang shalihah adalah mereka yang (taat kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada.”
Jadi, jika pilihan hidup jatuh pada lumrahnya hidup sebagaimana yang ditentukan oleh Allah, maka hendaknya seorang laki-laki (suami) yang bekerja dan memberi nafkah. Sedang seorang perempuan (istri) hendaklah tetap berada di rumah menjadi penjaga atas apa-apa yang telah diamanahkan seorang suami terhadap istri. Termasuk di dalamnya harta dan anak-anak.
Lalu bagaimana jika kemudian pilihan hidup istri jatuh menjadi seorang ibu pekerja???
Berikut ada beberapa langkah yang dapat dilakukan supaya kehidupan keluarga tetap berjalan sebagaimana mestinya, meskipun istri (ibu) memilih bekerja di luar rumah..
1. Pilihlah suami yang mengijinkan seorang istri bekerja atau mintalah ijin suami saat pertama kali seorang istri hendak memutuskan bekerja di luar rumah. Ini penting bagi seorang istri baik yang bekerja karena gaya hidup maupun karena keharusan tuntutan ekonomi.. Keridhaan suamilah yang akan menjadi pintu kemudahan segala urusan baginya.
2. Jadilah patner yang baik. Memilih menjadi ibu pekerja yang menghabiskan sebagian waktunya di luar rumah menuntut segala pekerjaan rumah dilakukan lebih cekatan dan lebih awal. Maka dalam hal ini antara suami dan istri hendaknya saling menjadi patner kerja yang baik. Seorang suami yang telah menyetujui istrinya bekerja di luar ruamah baik untuk membantu ekonomi keluarga maupun untuk membuat ruang yang lebih luas bagi istri, sebaiknya mau ikut berbagi peran dengan istri dalam hal penyelesaian pekerjaan rumah. Misal membantu istri menyapu, menjemur pakaian dan pekerjaan ringan lainnya. Sebenarnya ini bukan sebuah keharusan bagi suami, tapi setidaknya dengan adanya istri bekerja, secara mau tidak mau ia telah terbantu untuk beberapa hal dalam masalah perekonomian keluarga. Jadi, saling pengertian dan membantu menyelesaikan pekerjaan rumah ini akan sangat baik bagi pasangan yang sama-sama bekerja di luar.
3. Memilih asisten rumah tangga. Apabila dibutuhkan seorang asisten rumah tangga untuk membantu pekerjaan atau mengasuh anak, hendaknya memperhatikan kepribadian asisten yang akan dipilih. Baik dari segi agama (akhlak dan ibadahnya) social (pendidikan dan pengalaman kerja). Sebab setidaknya dialah yang akan menggantikan dan menjaga rumah saat seorang ibu harus bekerja di luar rumah. Saat dia mengasuh buah hati itupun diharapkan dia dapat ikut membantu buah hati belajar dan tumbuh layaknya ketika bersama ibunya. Sebaiknya pula ketika memilih seorang asisten rumah tangga adalah amasih ada ikatan persaudaraan. Hal ini dimaksudkan agar lebih merasa aman ketika anak ditinggalkan sendiri bersama pengasuh. Perlakukan juga mereka “asisten rumah tangga/pengasuh” dengan cara yang ma’ruf. Beri mereka waktu istirahat dan beri mereka ruang untuk terus belajar dan memperoleh kebaikan.
4. Tetaplah menjadi seorang istri dan ibu seutuhnya. Menjadi seorang ibu bekerja bukan berarti lepas tanggung jawab atas beberapa hal di rumah pada saat seorang ibu tengah bekerja. Sebaiknya seorang ibu pekerja tetap mengetahui segala apa yang terjadi dan harus dipersiapkan untuk kebutuhan keluarga selama dua puluh empat jam.
5. Miliki waktu untuk keluarga. Seberapapun sibuknya seorang istri (ibu) yang harus bekerja di luar rumah, tetaplah harus memiliki waktu untuk bersama keluarga. Setidaknya punya waktu untuk bercengkrama dengan keluarga satu atau dua jam sebelum mereka berangkat tidur. Ajak mereka bercerita tentang apa saja yang telah terjadi hari ini. Sisipkan pendidikan moral dari kita dalam setipa kesempatan yang adab Bila ibu pekerja masih memiliki balita, hantar mereka tidur dalam pelukan dan biarkan mereka merasa memiliki ibu mereka seutuhnya.
Beberapa langkah di atas mungkin sedikit dapat membantu seorang isri (ibu) yang bekerja di luar rumah. Apapun pilihan seorang istri (ibu) selama itu tidak melanggar aturan agama dan berada dalam keridhaan suami, semoga semua yang dilakukannya tercatat sebagai sebuah kebaikan dan mendapat pahala dari Allah subhanahu wata'ala. Amiin (wallahu ‘alam bishawab)
Bandar Lampung, 18 Agustus 2014

Komentar

Postingan Populer