Yang Tak Pernah Terganti
Oleh
: Islah Wardani
Asri. Itu yang kurasakan setiap kali duduk dan menghirup
wangi bunga koleksi Ibu. Teras rumah ini belum berubah. Hanya ada beberapa
rumpun anggrek dan melati sepanjang sisi kiri teras yang telah berganti dengan
jajaran lidah mertua. Ini seingatku. Kupandangi wanita berjilbab segi empat berwarna coklat susu.
Ujung kedua jilbab ditarik pada kedua pundaknya. Meski usianya telah menjejaki
setengah abad lebih, tapi masih terlihat ayu dan energik. Wanita yang telah
kubiarkan dalam dua tahun terakhir mencecapi kehidupannya sendiri. Padahal aku
berjanji pada Ibu akan rutin mengunjunginya dua pekan sekali. Tapi, nayatanya
sudah hampir empat bulan terakhir, baru kali ini aku sempatkan mengunjungi Ibu.
Inipun sendiri, tanpa istri dan kedua anakku.
Ibu tengah menyiram batang-batang mawar pada pojok halaman.
Setelah beberapa waktu berlalu, Ibu mengganti kesibukan merawat Ayah dengan
menenggelamkan diri pada rumpun-rumpun bunga kesayangannya. Telah lima belas
tahun dari kepergian Ayah, tapi tak pernah sekalipun kudengar Ibu menyebut nama
laki-laki lain dengan mata berbinar. Hingga tadi malam, selepas shalat magrib,
saat aku tengah duduk menutup ba’diah magrib dengan serangkai doa, Pak Rahman
datang menghampiriku.
“Nak Karim??”
“Iya. Eeee, Pak Rahman. Bagaimana kabarnya, Pak?” kucium
tangan lelaki kharismatik pensiunan guru ini.
“Alhamdulillah, sehat.” Lelaki ini kemudian mengambil posisi
duduk di hadapanku. “Mau lama di sini?”
“Nggak, Pak. Insyaalloh besok petang, sebelum magrib saya
akan kembali ke Palembang.”
“Ohh??! Begini, Nak Karim,” sejenak Pak Rahman menarik
napas, “Ada hal yang ingin saya bicarakan.” Segera kuambil posisi duduk bersila
untuk menyimak apa yang yang ingin pak Rahman utarakan.
“Hhmm, kalau Nak Karim mengijinkan, saya ingin mengajak Ibu
untuk hidup bersama dengan saya.” Seperti ada sebuah duri ikan yang tiba-tiba
bersarang di kerongkongan dan membuatku terpaksa sedikit ternganga.
Kupandang laki-laki
enampuluhan tahun yang kini duduk tertunduk. Istrinya memang telah dipanggil
yang kuasa tujuh bulan yang lalu. Kini, beliau hanya hidup sendiri. Ketiga anak
perempuannya yang dulu juga teman sepermainanku kini telah di boyong oleh suami
mereka masing-masing. Pak Rahman hanya tinggal sendiri ditemani sepasang abdi
yang merawat dan sebagai sopirnya.
“Bapak sudah bilang ke Ibu?”
“Belum, Nak. Kalau Nak Karim mengijinkan, nanti biar saya
bilang ke Ibu.”
Suasana masjid ba’da magrib memang sepi. Hanya ada beberapa
jamaah yang duduk menekuri al-qur’an. Mungkin itu juga yang dirasakan pak Rahman
dalam kesehariannya. Begitu melihat Ibu yang juga hidup sendiri, mungkinkah
keinginan mengajak hidup bersama itu hadir???
“Saya bicarakan dulu dengan Ibu, Pak. Insyaallah besok
petang sebelum pulang saya silaturahim ke rumah Bapak.” Kusalami tangan lelaki
yang berniat menghitbah ibuku ini. Dengan senyum penuh harap laki-laki ini
menghantarku yang beranjak pergi. Meski usianya kini bukan lagi muda, tapi pada
matanya jelas tersirat binar yang kurasa itu juga mampu membuatnya tadi
berbiacara sedikit gugup.
*******
“Bu..” kuambil posisi di samping Ibu yang tengah menikmati
tilawah magribnya. Wangi kenanga bunga kesukaan Ibu masuk menerobos jendela
yang dibiarkan terbuka. Wangiinya memberikan parfum alami pada ruang pesholatan
ini.
“Ada apa?” sejenak Ibu melepas kacamata bacanya.
“Ibu, masih ingat Ayah?” pelan kuraba hati Ibu tentang
laki-laki yang telah memberinya satu putra.
“Ayahmu selalu ada di sini, Nak. Meski jasadnya telah lebur
dengan tanah.” Tangan Ibu letetakkan tanganku di dadanya.
“Ibu tidak merasa kesepian?” Sejenak wanita ayu ini menghirup
napas perlahan. Rasanya beliau tengah memilin hatinya sendiri. Mengusir sunyi
yang telah dikungkunginya sekian waktu.
“Kenapa tiba-tiba engkau bertanya begini?”
Kusimpan gugup yang tiba-tiba datang. Rasa bersalah pun
datang menyergap. “Karim ingat Ayah, Bu”
“Doakan yang terbaik untuk ayahmu, Nak. Hanya kita berdua
yang tahu dan merasakan bagaimana Ayah telah memberi kita cinta dengan tulus.
Meski Allah tidak mengijinkan waktu pada kita lebih lama untuk bersama, tapi
Ibu telah berjanji dan berharap untuk
dapat kembali bersama ayahmu nanti di surga-Nya.” Kedua mata Ibu kini menyimpan
embun pada ujungnya.
Ingatanku pun melayang ke puluhan tahun silam. Langit sore
yang menghampar biru bersih di tingkahi angin yang sesekali bertiup kencang mempermainkan
batang kail yang kupegang. Aku dan Ayah duduk berdampingan pada tepian kolam
pemancingan. Belum satu ikanpun kudapat. Sedang beberapa kali Ayah telah
memasukkan hasil pancingannya ke dalam ember.
“Ayah, kenapa nggak ada ikan yang mau memakan umpanku?”
Coba kamu jangan cemberut. Biar ikannya nggak takut” jawab
Ayah meledekku. Wajah yang kulipat dan hampir terbenamkan pada kedua lipatan
kaki segera kuangkat.
“Ayah, nanti kita makan pakai ikan goreng saja ya? Biar Ibu
yang memasaknya. Diberi taburan tepung gurih dan dicocol dengan sambal kecap.
Pasti enak!”
“Ibumu memang paling hebat kalau soal memasak. Iya, kan?”
“Ayah cinta Ibu?”
“Tentu!”
“Selamanya?”
“Tentu!”
“Hanya Ibu?”
“Tentu!”
“Kenapa, Yah?”
“Karena Ibumu satu-satunya wanita yang Ayah cintai setelah
nenekmu. Ayah berharap akan bersama Ibumu selamanya. Di dunia dan akhirat.”
*******
“Iya, Pak. Tuh ada Karim di teras.” Suara Ibu membuyarkan
lamunan pagiku. Tampak pak Rahman berdiri tidak jauh dari tempat Ibu.
Kupandangi keduanya yang kini hidup sendiri tanpa pasangan mereka. Pikiranku
mengingat kembali apa yang disampaikan pak Rahman semalam. Mungkinkah keduanya
memang telah sama-sama menaruh hati. Segera aku turun untuk membuktikan semua.
“Habis jogging, Pak?” sapaku pada pak Rahman yang mengenakan
pakaian olahraga.
“Iya, sudah semakin ke sini harus semakin rajin menjaga
kesehatan.” Kutangkap dari ujung mata Ibu sedikit menjauh. Menarik ujung selang
airnya.
“Mari mampir, Pak.”
“Owh, ndak usah, Nak. Saya mau sarapan dan memberi makan
mereka.” Tunjuk pak Rahman pada deretan sangkar burung-burung hias koleksinya yang bergantung
rapih pada tiang-tiang berderet .
“Mari, Nak. Assalamualaikum.” Pamit Pak Rahman sambil
berlalu
“Iya, Pak. Waalaikum salam.”
Kuhampiri Ibu yang juga tengah mengulas senyum sembari
membungkuk membalas salam Pak Rahman.
“Bu, Pak Rahman sekarang tinggal sendirian ya?”
“Iya. Ibu juga kadang risih. Setiap pagi, saat Ibu menyiram
bunga pasti beliau akan datang menghampiri dan mengajak Ibu berbincang.” Ibu
mengurai cerita tanpa kuminta. Kembali kuraba pelan hati Ibu.
“Wah, asyik dong, Bu?”
“Asyik gimana? Ibu malah takut timbul fitnah. Coba bagaimana
kalau lama-lama nanti orang berpikiran yang nggak-nggak tentang Ibu dan pak
Rahman, malu to?”
Tak kutangkap binar bahagia di mata Ibu saat menyebut nama
Pak Rahman. Malah sebaliknya Ibu terlihat jengah.
“Ibu nggak ingin punya teman hidup lagi? Sepertinya Pak
Rahman menaruh sesuatu pada Ibu.” Senyum meledek sengaja kuumbar untuk
menelisik hati Ibu.
“Nggak akan pernah, Nak.Ayahmu tak akan akan pernah
terganti.”
Sejenak beku. Kubiarkan Ibu kembali menyiram bunganya. Kini
deretan perdu sebagai pagar rumah mendapat giliran untuk disiram.
Berlahan kuambil langkah mendekati Ibu.“Bu..,” kurengkuh
pundak Ibu yang telah kusejajari. Tinggi Ibu kini tidak lebih tinggi dari pundakku.
“Apa, Nak?”
“Doakan ya, Bu. Akhir bulan ini Karim akan mengajukan pindah
bagian. Supaya di mutasi ke PLN wilayah Lampung sebagai pegawai yang berkantor
tetap. Karim ingin di sini menjaga Ibu.”
“Apa?! Ini benar, Nak?” mata ibu berlonjak dipenuhi binar.
“Iya, Bu. Semoga di beri kemudahkan oleh Allah.” Senyumku
mengembang memberi jawaban.
“Lalu bagaimana dengan pekerjaan Utami dan anak-anak?” Ibu
bertanya tentang istri dan kedua anakku.
“Utami akan saya minta berhenti bekerja, Bu. Mereka akan
tinggal di sini. Menemani dan menjaga Ibu.”
Segera Ibu melepas selang yang ada di tangannya. “Terimakasih
ya, Nak.” Mata Ibu kembali berkilat-kilat dipenuhi binar bahagia. Kedua
tangannya bergetar meraih kepalaku. Kini aku menunduk dan mempersilahkan
keningku untuk di kecupnya.
Maafkan anakmu, Bu. Yang telah melalaikanmu selama beberapa waktu.
Seharusnya engkaupun tak harus terganti oleh siapa dan apapun juga. Bahkan oleh
istri dan pekerjaanku. Kini akan aku usahakan supaya tempatmu kembali di sini. Pada urutan pertama untuk
orang yang kucintai. Seperti cara Ayah mencintai wanita.
Bandar Lampung, 11 September 2014
Komentar
Posting Komentar