Penyesalan


Merasakan rasa bersalah dan menyesal. Itu yang kurasakan seharian kemarin. Menyesal karena kebodohanku melalaikan sebuah ukhuwah dan silaturahim. Menyesal karena terlambat bergerak, dan merasa bersalah yang teramat dengan Allah dan salah satu saudaraku yang tengah kesusahan. Benar, aku kurang peka. Sudah hampir dua bulan lebih, tepatnya sejak aku mendengar si kecil itu lahir prematur, tapi aku terus saja menunda-nunda untuk menjenguknya. Padahal jarak tak begitu jauh. Kami tinggal satu kota. Hingga suatu siang Allah membuka mataku lebar-lebar. Di beranda facebook muncul poto si kecil dengan perut membuncit. Ini foto diunggah ibunya  sambil ngebayangin nomor rekeningnya tiba-tiba penuh guna untuk membayar biaya operasi yang dikabarkan dokter dengan biaya selangit. Tigapuluh juta biaya operasi saja belum perawatan. Trenyuh. Itu pasti. Maka dengan segenap rasa bersalah karena sampai detik itu juga aku belum menjengukknya. Kushare poto tersebut dengan mentag teman-teman memohon bantuan mereka.



Pagi menjelang siang  beberapa teman mengabarkan telah menyalurkan bantuan mereka. Bahagia rasanya saat aku bisa sedikit membantu kesulitan saudaraku. Dengan suami segera kami ikut mengalaokasikan beberapa dana untuk ikut disalurkan. Kebetulan hari kamis seharian suami ada kuliyah S2nya, maka rencana ke rumah sakit kami agendakan ba'da isya selepas mengajar anak-anak mengaji. Gerimis. Lagi-lagi Allah menguji keteguhanku dalam silaturahim. Melihat permohonan dari mataku, suami tak kuasa meolak untuk menghantarku ke rumah sakit. Dengan si kecil yang kami apit di tengah, kami tekadkan melawan hujan. Tapi, belum separuh perjalanan, hujan turun dengan derasnya. Terpaksa berhenti untuk berteduh. Bimbang. Diantara lanjut atau putar arah. Si kecil tampak kedinginan dibalik jaket merahnya.

Akhirnya kami kembali jalan lagi beberapoa saat setelah hujan sedikit mereda. Belum seratus meter kami melaju, tiba-tiba angin dan hujan keroyokan datang. Putar balik. Terpaksa kembali kukirim pesan  ke ibu si dede bayi di rumah sakit bahwa kami gagal datang.

Esoknya, jumat pagi. Lagi-lagi waktu sangat tak bisa dicuri. Kesibukanku yang tengah memasakkan beberapa pekerja yang membereskan bangunan rumah dan suami yang ada jam kuliyah lagi. Selepas jumatan. pintaku merayu. Tapi, dering hp suami menggagalkan semua, dua orang berjanji datang untuk menyelesaikan pembacaraan proyek pembanguna masjid pesantren yang suamiku urus. Gigit jari sambil ngelonin si kecil bobo. Belum sempat mata terpejam, hp yang nyelip dibantal tiba-tiba bergetar. Kuangkat dan terdengar suara di seberang. Tiba-tiba mataku merah merebak. Disergap rasa bersalah yang datang bergulung-gulung.

"Ya Rabb, ampuni hamba-Mu yang terus saja menunda-nunda hal penting."

Segera kukabarkan pada suami perihal kepergian bayi kecil yang niatannya semalam akan kami njenguk. Suami memahami perasaanku, dan segera berjanji akan menghantar takziyah selepas asar. Seluruh tubuhku lunglai, berkali-kali airmata menetes. Tengkukku lemas tak berdaya. Setelah urusannya selesai, suami pulang dengan tergesa dan segera mengampiriku yang meringkuk di kamar. Adzan asar terdengar dan segera dia menyuruhku bersiap.

Muluskah sampai di sini??? Ternyata tidak. Langit kembali menghitam tak bersahabat. Segera suami pamit ke pesantren untuk meminjam mobil yayasan. Tapi, ternyata mobil tengah di bawa ustad lain. Hampir setengah enam baru suamiku muncul dengan tergesa. Tanpa suara segera kami berangkat. Bermodal alamat rumah yang sama sekali belum pernah kami kunjungi, kami memulai pencaraian. Kesasar kesana kemari hingga kami putuskan berhenti shalat magrib yang sudah cukup telat di sebuah masjid di perumahan padat penduduk. Menelepon sauadar yang tertimpa musibah kemudian menjadi pilihan terakhir. Hingga dalam teamaram lampu jalanan kemudian kutangkap sosok yang sudah familiar di mataku. Kuhampiri laki-laki berhidung mancaung. Kucium takzim laki-laki yang beberapa waktu terakhir sempat kuabaikan persaudaraanku dengannya. Melihat puti kecilku mungkin ia teringat bayinya yang tadi siang telah pergi. Dia langsung mengahampiri dan menciuminya.

Lagi-lagi mataku merebak. Tak banyak bicara mobil kami mengikuti laju motornya. Sampailah kami di rumah duka. Di bawah sorot lampu, kini jelas terlihat laki-laki yang tadi menjemputku wajahnya sangat pucat. Bibirnya putih pucat. Tertunduk lesu dia mengurai cerita tentang putrinya. Saat terakhir pasanagn ini harus melihat putri kecil mereka meregang nyawa. Diam-diam kusembunyikan sesak dan rasa bersalah yang lagi-lagi datang menyergap.

Kemudian saat aku pamit dia mengelus kepalaku. Mengucapkan terimakasih dan memintaku menghentikan penggalangan dana. Hanya anggukan yang aku berikan. Sedang rasa bersalah terus saja mendera, hingga aku menuliskan ini.

Maafkan aku yang terlambat menyadari arti peduli.

Bandar Lampung, 8 November 2014

Komentar

Postingan Populer